Senin, 12 September 2011

Full Day Tour with SMEKENSA (PARIWISATA)

Hy !! Guys
minggu kemarin saya dan teman-teman mengikuti Tour (Full day Tour)
objek wisata yang kami kunjungi yaitu ...
  • Commonwealth war cemetary
  • Benteng Amsterdam
  • Gereja Tua Immanuel (Gereja Tua di Indonesia)
  • Masjid Wapaue
  • Negeri Morella (Menonton Atraksi "Pukul Sapu")
Commonwealth war cemetary  




Merupakan lokasi pemakaman lebih dari 2000 tentara sekutu berkebangsaan Australia, Belanda, Inggris, dan India yang tewas dalam berbagai pertempuran di Sulawesi dan Maluku pada masa perang dunia ke-2. Di pemakaman ini memiliki taman yang indah. Sebagian besar korban di kuburan meninggal di kamp ini.
Saat ini ada lebih dari 1.956 Persemakmuran kuburan di kuburan. Dari jumlah tersebut, lebih dari 1000 adalah Australia, lebih dari 800 adalah Inggris. Dari kuburanPersemakmuran, 357 yang tak dikenal. Ada juga 185 kuburan perang Belanda, yang tak dikenal 15, dan satu pilot Amerika. perang ini terjadi, dari tahun 1942 sampai 1945

Benteng Amsterdam



Terletak di desa Hila, kira-kira 1 jam dengan mobil dari Ambon  Benteng ini terletak di Desa Hila Kaitetu, Kecamatan Leihitu, sekitar 42 Km dari Kota Ambon. Benteng ini dibangun pada 26 Juli 1569 oleh Portugis yang dulunya diberi nama “Castel Vanveree”.
Benteng Amsterdam merupakan bangunan tua yang sudah berusia ratusan tahun, dan menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah penguasaan VOC di Ambon. Benteng ini terletak di tepi pantai yang sangat tenang dan indah, atapnya sudah terpasang rapi.  Warna merahnya mencorok.  Kontras dengan laut biru di belakang benteng.  Itu bukan atap asli.  Yang masih asli peninggalan Belanda dalam benteng ini adalah lantai batunya, tembok semen, dan kayu-kayu penopang beserta tangga menuju lantai atas.  Juga teras kayu di lantai dua.
Benteng Amsterdam menurut Francois Valentijn dalam buku ‘Beschrijving van Amboina’ (Tulisan tentang Ambon).  Gambar inilah yang jadi acuan renovasi benteng.   benteng ini dulu dibangun oleh Portugis pada tahun 1512 kemudian diambil alih oleh Belanda pada abad ke-17.
Menurut booklet ‘Ambon Island’ , dikatakan bahwa benteng ini merupakan benteng kedua yang dibangun oleh Belanda, setelah benteng Kasteel Van Verre di dekat Seith hancur.
Benteng Amsterdam didirikan pada masa perdagangan rempah-rempah di awal abad ke – 17, setelah VOC – Vereenigde Oost Indische Compagnie – dibentuk oleh Heeren Zeventien di Belanda.  G.E. Rumphius pernah tinggal di benteng ini, menulis buku-buku tentang flora dan fauna Ambon. Sebelum menjadi benteng, bangunan ini adalah gudang penyimpanan rempah-rempah milik Portugis. Pala, cengkeh, dan kelapa ditaruh di tempat ini.Setelah diambil alih Belanda, gudang penyimpanan rempah-rempah itu dijadikan benteng VOC. Georg Everhard Rumphius adalah seorang naturalis dan ahli sejarah dari Jerman (1627 – 1702).  Selain menulis tentang flora dan fauna Ambon, ia juga menulis tentang gempa dan tsunami yang melanda Maluku dalam bukunya yang berjudul ‘ Waerachtigh Verhael Van de Schrickelijcke Aerdbevinge’.  Gempa dan tsunami itu terjadi pada tanggal 17 Februari 1674, mengakibatkan kerusakan parah desa-desa di pesisir utara Pulau Ambon dan bagian selatan Pulau Seram.  Buku-buku karya G.E. Rumphius bisa kita lihat di Perpustakaan Rumphius yang dikelola oleh Andreas Petrus Cornelius Sol MSC di komplek Pastoran Paroki Santo Franciscus Xaverius, Ambon. Memasuki benteng, di dekat pintu masuk kita akan menemui prasasti dengan lambang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.  Prasasti tersebut bertuliskan :
BENTENG AMSTERDAM
Mulai Dibangun Oleh :  GERARD DEMMER Pada Tahun 1642
Kemudian diperluas dan diperbesar oleh : ARNOLD De VLAMING Van OUDS HOORN
Pada Tahun 1649 hingga Tahun 1656

Gereja Tua Immanuel (Gereja Tua di Indonesia)


Gereja Immanuel Protestan yang diduga sebagai gereja tertua di Indonesia. Gereja ini dibangun Portugis pada tahun 1580 namun diambil alih oleh Belanda 200 tahun kemudian, di Hila

Masjid Wapaue




SEJARAH
Masjid Wapauwe berada di daerah yang mengandung banyak peninggalan purbakala. Sekitar 150 meter dari masjid ke arah utara, di tepi jalan raya terdapat sebuah gereja tua peninggalan Portugis dan Belanda. Kini gereja itu telah hancur akibat konflik agama yang meletus di Ambon tahun 1999 lalu. Selain itu, 50 meter dari gereja ke utara, berdiri dengan kokoh sebuah benteng tua “New Amsterdam”. Benteng peninggalan Belanda yang mulanya adalah loji Portugis. Benteng New Amsterdam terletak di bibir pantai ini dan menjadi saksi sejarah perlawanan para pejuang Tanah Hitu melalui Perang Wawane (1634-1643) serta Perang Kapahaha (1643-1646).  “Masjid ini memiliki nilai historis arkeologis yang penting. Didalamnya terpancar budaya masa lalu sehingga perlu kita lestarikan,” kata Pejabat Negeri Kaitetu, Yamin Lumaela, di rumah Raja Negeri Kaitetu. Lumalea berharap, keberadaan Masjid Wapauwe beserta beberapa peninggalan sejarah Islam lainnya yang sudah tua, bisa menjadi salah satu wilayah atau daerah tujuan wisata di Kepulauan Maluku.  “Sebelum kerusuhan banyak wisatawan yang datang kemari. Kondisinya berubah saat konflik. Sekarang pengunjungnya sangat kurang,” ungkapnya. Berdirinya Masjid Wapauwe di Negeri Kaitetu tidak terlepas dari hikayat perjalanan para mubaligh Islam yang datang dari Timur Tengah membawa ciri khas kebudayaannya ke dalam tatanan kehidupan masyarakat yang mendiami bagian utara Pulau Ambon, yakni jazirah Hitu yang dikenal dengan sebutan Tanah Hitu. Ciri khas ini kemudian melahirkan satu peradaban yang bernuansa Islam dan masih bertahan dilingkungan masyarakat setempat hingga saat ini seperti, budaya kesenian (hadrat), perkawinan, dan khitanan. Mulanya Masjid ini bernama Masjid Wawane karena dibangun di Lereng Gunung Wawane oleh Pernada Jamilu, keturunan Kesultanan Islam Jailolo dari Moloku Kie Raha (Maluku Utara). Kedatangan Perdana Jamilu ke tanah Hitu sekitar tahun 1400 M, yakni untuk mengembangkan ajaran Islam pada lima negeri di sekitar pegunungan Wawane yakni Assen, Wawane, Atetu, Tehala dan Nukuhaly, yang sebelumnya sudah dibawa oleh mubaligh dari negeri Arab.  Masjid ini mengalami perpindahan tempat akibat gangguan dari Belanda yang menginjakkan kakinya di Tanah Hitu pada tahun 1580 setelah Portugis di tahun 1512. Sebelum pecah Perang Wawane tahun 1634, Belanda sudah mengganggu kedamaian penduduk lima kampung yang telah menganut ajaran Islam dalam kehidupan mereka sehari-hari. Merasa tidak aman dengan ulah Belanda, Masjid Wawane dipindahkan pada tahun 1614 ke Kampung Tehala yang berjarak 6 kilometer sebelah timur Wawane. Kondisi tempat pertama masjid ini berada yakni di Lereng Gunung Wawane, dan sekarang ini sudah menyerupai kuburan. Dan jika ada daun dari pepohonan di sekitar tempat itu gugur, secara ajaib tak satupun daun yang jatuh diatasnya. Tempat kedua masjid ini berada di suatu daratan dimana banyak tumbuh pepohonan mangga hutan atau mangga berabu yang dalam bahasa Kaitetu disebut Wapa. Itulah sebabnya masjid ini diganti namanya dengan sebutan Masjid Wapauwe, artinya masjid yang didirikan di bawah pohon mangga berabu. Pada tahun 1646 Belanda akhirnya dapat menguasai seluruh Tanah Hitu. Dalam rangka kebijakan politik ekonominya, Belanda kemudian melakukan proses penurunan penduduk dari daerah pegunungan tidak terkecuali penduduk kelima negeri tadi. Proses pemindahan lima negeri ini terjadi pada tahun 1664, dan tahun itulah ditetapkan kemudian sebagai tahun berdirinya Negeri Kaitetu. 
PINDAH SECARA GAIB 
Menurut cerita rakyat setempat, dikisahkan ketika masyarakat Tehala, Atetu dan Nukuhaly turun ke pesisir pantai dan bergabung menjadi negeri Kaitetu, Masjid Wapauwe masih berada di dataran Tehala. Namun pada suatu pagi, ketika masyarakat bangun dari tidurnya masjid secara gaib telah berada di tengah-tengah pemukiman penduduk di tanah Teon Samaiha, lengkap dengan segala kelengkapannya. “Menurut kepercayaan kami (masyarakat Kaitetu, red) masjid ini berpindah secara gaib. Karena menurut cerita orang tua-tua kami, saat masyarakat bangun pagi ternyata masjid sudah ada,” kata Ain Nukuhaly, warga Kaitetu. Sementara itu, kondisi Mushaf Nur Cahya beserta manuskrip tua lainnya tampak terawat meskipun sudah mengalami sedikit kerusakan seperti berlobang kecil, sebagian seratnya terbuka dan tinta yang pecah akibat udara lembab. Menurut Rahman Hatuwe, ahli waris Mushaf Nur Cahya, kerusakan tersebut akibat faktor kertasnya yang sudah tua, debu, kelembaban udara serta insek (hewan) kertas. Dia menambahkan, pihaknya pernah mendapat obat serbuk (tidak disebutkan namanya) untuk menjaga keawetan manuskrip-manuskrip tua ini, hanya saja obat tersebut sudah habis. “Alquran Nur Cahya ini masih jelas, dan waktu-waktu tertentu saya masih sering membaca (ayat-ayat suci Alquran dari Mushaf ini, red) seperti pada waktu Ramadan sekarang ini,” kata Rahman yang adalah keturunan VIII Imam Muhammad Arikulapessy

Atraksi "Pukul Sapu"



Hal yang paling berkesan selama saya dan teman-teman mengikuti tour yaitu, ketika kami berkunjung di Benteng Amsterdam disana kami bertemu dengan wisatawan luar negeri (Tourist) dan saya mencoba untuk menunjukan kemampuan saya dalam berbahasa Inggis awalnya saya takut dan tidak berani tetapi, setelah teman saya memberi motivasi  kepada saya, saya pun memberanikan diri untuk berbicara meskipun, hanya meminta sii Tourist untuk berfoto bersama, dan respon sii Tourist sangat ramah kepada saya. dari hal sekecil itu membuat saya, untuk lebih bisa mengeksplor kemampuan saya ... :)) dan tidak boleh Malu-malu lagi harus Berani ..






Sekian Guys, !!! 

Minggu, 07 Agustus 2011

my new blog

Hey, guyz
perkenalkan nama gw Tasya
ini Blog baru gw,, blog ini gw buat
utk iseng* ajh ..
tpii, trnyata blognya jadi jugha .. haha :D
ooh, yaa blog ini akan gw isi
mengenai semua hall tentang diri gw dan
semua hall yg menyangkut kesukaan gw 
hihihii ..
bwt loe smwaa jgn lupa gabung yaa, d blog ini ..
God Bless You